Sabtu, 05 Januari 2019

Aspek Penataan Ruang dan Perijinan untuk melaksanakan Proyek Pembangunan

MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

  
            Disusun Oleh :
1.     Arif Tri Kusuma                      (10315998)
2.     Michaell Ezra Sitompul          (14315167)
3.     M. Rizki Trinanda                   (14315419)
4.     Randy Satria. A. P                  (15315645)
5.     Ubaidillah                               (16315966)
6.     Yana Anggraeni                      (17315213)
 
           Kelompok / Semester       :  V / VII
           Dosen Pembimbing          :  Efa Wahyuni, SE.
           Kelas                                : 4TA02
 
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK  SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
  2019 


Aspek Penataan Ruang dan Perijinan untuk melaksanakan Proyek Pembangunan
 

2.3      KONSEP DASAR PENATAAN RUANG
Konsep penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat.
Penyusuanan rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.     Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional
2.     Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional
3.     Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi
Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
1.         Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
2.         Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
3.         Rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
4.         Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan 
5.         Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 
Tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yaitu:
1.     Mewujudkan wilayah nasional yang aman, maksudnya situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman.
2.         Mewujudkan wilayah nasional yang nyaman, yakni suatu keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan (berperan mewujudkan atau mengaktualisasikan sesuatu dalam kehidupannya secara nyta) nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
3.    Mewujudkan wilayah nasional yang produktif, maksudnya proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
4.    Mewujudkan wilayah nasional yang berkelanjutan, maksudnya kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya SDA tak terbarukan.

2.3.1   ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG
Pengaturan kebijakan tata ruang secara operasional dapat dilihat pada GBHN yang pada masa sekarang GBHN 1999 pada pengaturan persoalan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (pada GBHN selanjutnya juga ditemukan istilah Tata Ruang). Pada prinsipnya sebetulnya kebijakan tentang penataan ruang di Indonesia, khususnya pada  masa Orde Baru, telah dilaksanakan secara programatik. Dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dikembangkan pembinaan tata ruang melalui kegiatan:
1.         Tata guna tanah, yakni pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah
2.         Tata kota dan daerah, yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah; dan
3.         Tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah.


2.3.2   PENGATURAN PENATAAN RUANG DALAM UU NO. 24/1992
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.         Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UULH No. 4/1982 menyatakan, bahwa wewenang pengaturan sebagaimana tersebut dalam ayat (3) batang tubuh UULH meliputi antara lain tatanan ruang yang merupakan sistem pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dan fungsi mencapai keserasian dan keseimbangan, setelah UU No. 4/1982 diganti dengan UU. No. 23/1997 pengaturan penataan ruang ini dapat diinterpretasikan dari Pasal  2, 3, 4, 8, 9, 10, 11, dan 12
2.         Penataan ruang sebagaimana yang dimaksud di atas tersebut di atas diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pasal 1 butir 3 UUPLH No. 23/1997 menyatakan, bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan LH, termasuk seumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
3.         Sebagai tindak lanjut ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 4/1982 (yang telah digantikan oleh UU. No. 23/1997) tersebut, yaitu pelaksanaan wewenang pengaturan tata ruang, telah diundangkan pada tanggal 13 Oktober 1992, Undang‑undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang  (UUPR).
4.         Salah satu pertimbangan ditetapkannya UUPR adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber‑daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Dengan diundangkannya UUPR, maka Stadsvormingsordonnantie 1948 (beserta Stadsvormingsverordening 1949) dinyatakan tidak berlaku lagi.
5.         Pasal 4 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa setiap orang berhak, menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pengertian orang ini adalah sama dengan pengertian orang sebagimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4/1982 (UULH UU No. 23/1997 Pasal 1 point 24). selanjutnya penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa pemerintah berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang.

2.3.3   WEWENANG PENGELOLA DALAM PERENCANAAN KOTA
Menurut Prajudi Atmosudirjo membedakan pengertian-pengertian kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani surat-surat izin seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri.
Adapun yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdapat dalam Pasal 10, yang berbunyi:
1.    Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a.     Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
b.      Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi
c.      Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan
d.    Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
2.         Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.      Perencanaan tata ruang wilayah provinsi
b.      Pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan
c.      Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
3.         Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a.      Penetapan kawasan strategis provinsi
b.      Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c.      pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d.      pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4.         Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5.         Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6.         Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a.   menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1)   rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2)    arahan peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3)     petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7.         Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standard pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.3.4 HUBUNGAN ANTARA ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PROYEK
Ruang merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tata ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik, diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Jadi, Penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan UUBG pasal 26
Ayat (1)
menerangkan bahwa izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata banguna yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku. Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang mempunyai bukti hukum sah berupa perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak lain.
Atas dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin terlebih dahulu karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b UUBG).
Menurut Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005, permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan;
Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah; Data pemilik bangunan gedung; Rencana teknis bangunan gedung; dan Hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
Lalu apa yang bisa terjadi kalau pemilik tidak memiliki ijin?  Pemilik rumah dapat dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).
Tetapi bagaimana jadinya jika ternyata gedung tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di bangun. Maka peraturan yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG
Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:
“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar