MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Disusun
Oleh :
1. Arif Tri Kusuma (10315998)
2. Michaell Ezra Sitompul (14315167)
3. M. Rizki Trinanda (14315419)
4. Randy Satria. A. P (15315645)
5. Ubaidillah (16315966)
6. Yana Anggraeni (17315213)
Kelompok / Semester : V / VII
Dosen Pembimbing : Efa Wahyuni, SE.
Kelas : 4TA02
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2019
Aspek Penataan Ruang dan Perijinan untuk melaksanakan Proyek Pembangunan
2.3 KONSEP
DASAR PENATAAN RUANG
Konsep
penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada
beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara
luas bagi semua lapisan masyarakat.
Penyusuanan
rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1. Wawasan
Nusantara dan ketahanan Nasional
2. Perkembangan
permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan
ruang nasional
3. Upaya
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi
Aspek
lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional
adalah:
1.
Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan
pembangunan daerah;
2.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
3.
Rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
4.
Rencana tata ruang kawasan strategis
nasional; dan
5.
Rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Tujuan
dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional, yaitu:
1. Mewujudkan wilayah nasional yang aman,
maksudnya situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
terlindungi dari berbagai ancaman.
2.
Mewujudkan wilayah nasional yang nyaman,
yakni suatu keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan (berperan mewujudkan
atau mengaktualisasikan sesuatu dalam kehidupannya secara nyta) nilai sosial
budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
3. Mewujudkan wilayah nasional yang produktif,
maksudnya proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus
meningkatkan daya saing.
4. Mewujudkan wilayah nasional yang
berkelanjutan, maksudnya kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan
bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan
orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya SDA tak terbarukan.
2.3.1 ASPEK
HUKUM PENATAAN RUANG
Pengaturan
kebijakan tata ruang secara operasional dapat dilihat pada GBHN yang
pada masa sekarang GBHN 1999 pada pengaturan persoalan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup (pada GBHN selanjutnya juga ditemukan istilah Tata Ruang).
Pada prinsipnya sebetulnya kebijakan tentang penataan ruang di Indonesia,
khususnya pada masa Orde Baru, telah dilaksanakan secara programatik.
Dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dikembangkan pembinaan tata ruang
melalui kegiatan:
1.
Tata guna tanah, yakni pemetaan penggunaan
tanah dan kemampuan tanah
2.
Tata kota dan daerah, yakni penyusunan
rencana pengembangan kota dan daerah; dan
3.
Tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban,
serta pengawasan hak-hak atas tanah.
2.3.2 PENGATURAN PENATAAN RUANG DALAM
UU NO. 24/1992
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1.
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UULH No. 4/1982
menyatakan, bahwa wewenang pengaturan sebagaimana tersebut dalam ayat (3)
batang tubuh UULH meliputi antara lain tatanan ruang yang merupakan sistem
pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antara berbagai
kegiatan dan fungsi mencapai keserasian dan keseimbangan, setelah UU No. 4/1982
diganti dengan UU. No. 23/1997 pengaturan penataan ruang ini dapat
diinterpretasikan dari Pasal 2, 3, 4, 8, 9, 10, 11, dan 12
2.
Penataan ruang sebagaimana yang dimaksud di
atas tersebut di atas diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pasal 1 butir 3 UUPLH No.
23/1997 menyatakan, bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan LH, termasuk seumber
daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
3.
Sebagai tindak lanjut ketentuan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 4/1982 (yang telah digantikan oleh UU.
No. 23/1997) tersebut, yaitu pelaksanaan wewenang pengaturan tata ruang, telah
diundangkan pada tanggal 13 Oktober 1992, Undang‑undang No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (UUPR).
4.
Salah satu pertimbangan ditetapkannya UUPR
adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beranekaragam di daratan, di
lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan
sumber daya manusia dan sumber‑daya buatan dalam pola pembangunan yang
berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata
lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan
hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Dengan diundangkannya UUPR, maka
Stadsvormingsordonnantie 1948 (beserta Stadsvormingsverordening 1949)
dinyatakan tidak berlaku lagi.
5.
Pasal 4 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa
setiap orang berhak, menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang
sebagai akibat penataan ruang. Penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.
Pengertian orang ini adalah sama dengan pengertian orang sebagimana tercantum
dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4/1982 (UULH UU No. 23/1997 Pasal 1
point 24). selanjutnya penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa pemerintah
berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang.
2.3.3 WEWENANG
PENGELOLA DALAM PERENCANAAN KOTA
Menurut Prajudi
Atmosudirjo membedakan pengertian-pengertian kewenangan dan wewenang.
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan
terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat.
Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum
publik, misalnya wewenang menandatangani surat-surat izin seorang pejabat atas
nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri.
Adapun
yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam penataan ruang terdapat
dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdapat dalam Pasal 10, yang
berbunyi:
1. Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. Pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi,
dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi dan kabupaten/kota.
b. Pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi
c. Pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan
d. Kerja
sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang
antar kabupaten/kota.
2.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. Perencanaan
tata ruang wilayah provinsi
b. Pemanfaatan
ruang wilayah provinsi, dan
c. Pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah provinsi
3.
Dalam penataan ruang kawasan strategis
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi
melaksanakan:
a. Penetapan
kawasan strategis provinsi
b. Perencanaan
tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. pemanfaatan
ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4.
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5.
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang
wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk
pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6.
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah
provinsi:
a. menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan:
1) rencana
umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi;
2) arahan
peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3) petunjuk
pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7.
Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak
dapat memenuhi standard pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah
mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2.3.4 HUBUNGAN
ANTARA ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PROYEK
Ruang
merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara
terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor
kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya
masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang
wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tata
ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam,
lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu dengan
lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik,
diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan
pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Jadi, Penataan ruang adalah
proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan UUBG pasal 26
Ayat (1)
menerangkan bahwa izin pemanfaatan ruang
adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata banguna yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang
berlaku. Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah adanya Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah
perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang mempunyai bukti hukum sah berupa
perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak lain.
Atas
dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin
terlebih dahulu karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan
pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat
dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah
Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki
IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b
UUBG).
Menurut Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005,
permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan;
Tanda
bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan
tanah; Data pemilik bangunan gedung; Rencana teknis bangunan gedung; dan Hasil
analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan.
Lalu apa yang bisa terjadi kalau pemilik
tidak memiliki ijin? Pemilik rumah dapat dikenakan sanksi penghentian
sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung (Pasal 115
ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin
mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115
ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat
dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang
atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).
Tetapi bagaimana jadinya jika ternyata gedung
tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di bangun. Maka peraturan
yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG
Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan
bahwa:
“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi
belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini
diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan
sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar