MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Disusun
Oleh :
1. Arif Tri Kusuma (10315998)
2. Michaell Ezra Sitompul (14315167)
3. M. Rizki Trinanda (14315419)
4. Randy Satria. A. P (15315645)
5. Ubaidillah (16315966)
6. Yana Anggraeni (17315213)
Kelompok / Semester : V / VII
Dosen Pembimbing : Efa Wahyuni, SE.
Kelas : 4TA02
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
APEK
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
2.1 APEK
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Permasalahan
hukum sering terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terutama berkaitan
dengan kontrak, salah satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Oleh
karena itu, perlu untuk dipahami mengenai konsep
dasar dari aspek hukum dan aspek kontraktual dalam tata hukum/perundangan yang
berlaku di Indonesia dan di luar Indonesia serta mahasiswa mampu memetakan
peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.
Modul Aspek Hukum dan Kontraktual
akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia yang terdiri dari:
1.
Hukum Perdata yang meliputi Hukum Perikatan dan Hukum
Perjanjian.
2.
Perjanjian yang meliputi syarat sahnya perjanjian, akibat
dari perjanjian dan berakhirnya perjanjian.
3.
Wanprestasi.
4.
Somasi.
5.
Sanksi dan Ganti Rugi.
6.
Hukum dalam Kontrak Konstruksi.
Sistem Hukum Indonesia pada dasarnya
dikelompokkan dalam hukum pidana dan perdata (delik aduan). Dasar hukum
di Indonesia adalah Hukum Kontinental (Civil Law-Eropa)
yang mengandalkan kitab undang-undang. Dasar hukum lainnya adalah Common Law (Anglo Saxon) yang
melandaskan pada Yurisprudensi. Landasan/Sumber Utama hukum yang berlaku saat
pemerintahan Belanda pada tahun 1938 yaitu Burgelijk Wetboek yang saat ini
disebut Hukum Perdata Indonesia.
2.1.1 Hukum Perdata
1.
Hukum
Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata berlaku sejak tahun 1945
yang terdiri dari 1993 pasal dalam 4 buku yaitu tentang ORANG, tentang
KEBENDAAN, tentang PERIKATAN dan tentang PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA. Definisi
mengenai hukum perikatan adalah sebagai berikut Hukum perikatan (Verbintenissenrecht) adalah kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang satu dengan
lainnya dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban). Unsur-unsur yang
terdapat dalam hukum perikatan adalah adanya kaidah hukum (tertulis/tidak
tertulis), adanya subyek hukum, adanya obyek hukum dan dalam bidang harta
kekayaan (hak dan kewajiban).
2.
Hukum Perjanjian
Sebagai mahluk sosial manusia
selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam
komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun
juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan
diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur
hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian. Pengertian
perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau
lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan
penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam
perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua
belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu
secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana
kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
2.1.2
Perjanjian
1.
Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320
KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan
hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1.
Kesepakatan para pihak.
Kata “sepakat” tidak
boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana
seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya
penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat
(Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat”
berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.
Kecakapan untuk membuat
perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll). Pasal 1330
BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum
dewasa
b. Mereka yang ditaruh
dibawah pengampuan
3.
Menyangkut hal tertentu.
Perjanjian harus
menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika
tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian,
dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari
dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara
tegas.
2.
Akibat Dari Perjanjian
Akibat timbulnya
perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk
melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini
dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
1.
perjanjian yang dibuat oleh
para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2.
perjanjian yang telah
dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak
atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
3.
Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikat baik.Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338
KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau
perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan
untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat
(lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
3.
Akhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
1.
ditentukan oleh para
pihak berlaku untuk waktu tertentu.
2.
undang-undang menentukan
batas berlakunya perjanjian.
3.
para pihak atau
undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka
persetujuan akan hapus. Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa
(overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan
memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya
kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain.
2.1.3
Wanprestasi
Suatu
perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang
dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Wanprestasi berasal
dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi
sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi
tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan
pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi
tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru,
apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur
dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2.1.4 Somasi
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan
dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki
pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan
dalam pemberitahuan itu.
Menurut
pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila iadengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan
sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1.
Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari
hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan
ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya
dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2.
Akta sejenis
Akta ini dapat berupa
akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3.
Tersimpul dalam perikatan
itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan
perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam
perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah
pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan
maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
2.1.4
Sanksi
Apabila debitur melakukan
wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur,
yaitu:
1.
Membayar kerugian yang diderita kreditur.
2.
Pembatalan perjanjian.
3.
Peralihan resiko.
4.
Membayar biaya perkara apabila sampai
diperkarakan dimuka hakim.
2.1.5
Ganti Rugi
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut
undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl). Yang
dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten),
atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya
siberhutang tidak lalai (winstderving).
2.1.6
Hukum dan Kontrak
Konstruksi
1.
Definisi kontrak
menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara
pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa. Kontrak kerja konstruksi menurut UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun
1999 adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hokum antara pengguna
jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak konstruksi
mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak
tersebut. Kedudukan, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut baik itu
pengguna jasa dan penyedia jasa adalah sama secara hukum.
2. Kontrak konstruksi
merupakan suatu produk hukum. Elemen (bagian-bagian kontrak merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, dan merupakan suatu kesatuan yang
mengikat karena seluruh elemen kontrak mempunyai kedudukan dan konsekuensi
hukum yang sama terhadap masing-masing pihak yang mengikat diri dalam kontrak.
3. Kontrak konstruksi
diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No
29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000. Kontrak konstruksi juga diatur
dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.
Daftar Pustaka
unitedgank007.blogspot.com/2016/01/modul-aspek-hukum-dan-manajemen-proyek.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar