Jumat, 04 Januari 2019

Aspek Hukum dalam Pembangunan

MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

  
            Disusun Oleh :
1.     Arif Tri Kusuma                      (10315998)
2.     Michaell Ezra Sitompul          (14315167)
3.     M. Rizki Trinanda                   (14315419)
4.     Randy Satria. A. P                  (15315645)
5.     Ubaidillah                               (16315966)
6.     Yana Anggraeni                      (17315213)
 
           Kelompok / Semester       :  V / VII
           Dosen Pembimbing          :  Efa Wahyuni, SE.
           Kelas                                : 4TA02
 
 
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK  SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
  2018  


APEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN



2.1         APEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Permasalahan hukum sering terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terutama berkaitan dengan kontrak, salah satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Oleh karena itu, perlu untuk dipahami mengenai konsep dasar dari aspek hukum dan aspek kontraktual dalam tata hukum/perundangan yang berlaku di Indonesia dan di luar Indonesia serta mahasiswa mampu memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.
Modul Aspek Hukum dan Kontraktual akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia yang terdiri dari:
1.            Hukum Perdata yang meliputi Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian.
2.            Perjanjian yang meliputi syarat sahnya perjanjian, akibat dari perjanjian dan berakhirnya perjanjian.
3.            Wanprestasi.
4.            Somasi.
5.            Sanksi dan Ganti Rugi.
6.            Hukum dalam Kontrak Konstruksi.
Sistem Hukum Indonesia pada dasarnya dikelompokkan dalam hukum pidana dan perdata (delik aduan). Dasar hukum di Indonesia adalah Hukum Kontinental (Civil Law-Eropa) yang mengandalkan kitab undang-undang. Dasar hukum lainnya adalah Common Law (Anglo Saxon) yang melandaskan pada Yurisprudensi. Landasan/Sumber Utama hukum yang berlaku saat pemerintahan Belanda pada tahun 1938 yaitu Burgelijk Wetboek yang saat ini disebut Hukum Perdata Indonesia.


2.1.1      Hukum Perdata
1.             Hukum Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata berlaku sejak tahun 1945 yang terdiri dari 1993 pasal dalam 4 buku yaitu tentang ORANG, tentang KEBENDAAN, tentang PERIKATAN dan tentang PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA. Definisi mengenai hukum perikatan adalah sebagai berikut Hukum perikatan (Verbintenissenrecht) adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang satu dengan lainnya dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban). Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perikatan adalah adanya kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis), adanya subyek hukum, adanya obyek hukum dan dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban).
2.             Hukum Perjanjian
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.  


2.1.2             Perjanjian
1.             Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1.    Kesepakatan para pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.    Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll). Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3.    Menyangkut hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.




2.             Akibat Dari Perjanjian
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
1.    perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.    perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
3.    Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).

3.             Akhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
1.    ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu.
2.    undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian.
3.    para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus. Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain.


2.1.3             Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1.     Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya  maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2.     Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3.        Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2.1.4      Somasi
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila iadengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1.             Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2.             Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3.             Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

2.1.4             Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1.             Membayar kerugian yang diderita kreditur.
2.             Pembatalan perjanjian.
3.             Peralihan resiko.
4.             Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

2.1.5             Ganti Rugi
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl). Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).

2.1.6             Hukum dan Kontrak Konstruksi
1.             Definisi kontrak menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak kerja konstruksi menurut UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun 1999 adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hokum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut. Kedudukan, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut baik  itu pengguna jasa dan penyedia jasa adalah sama secara hukum.
2.     Kontrak konstruksi merupakan suatu produk hukum. Elemen (bagian-bagian kontrak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, dan merupakan suatu kesatuan yang mengikat karena seluruh elemen kontrak mempunyai kedudukan dan konsekuensi hukum yang sama terhadap masing-masing pihak yang mengikat diri dalam kontrak.
3.           Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000. Kontrak konstruksi juga diatur dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.

Daftar Pustaka

unitedgank007.blogspot.com/2016/01/modul-aspek-hukum-dan-manajemen-proyek.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar